Waroeng-7


Sifat Kesatria Dalem Dukut Patut Diteladani
Dalam Lontar Ratu Nusa diceritakan upaya Dalem Klungkung menyatukan Nusa Penida dengan Bali. Upaya itu dilakukan untuk membangun hubungan yang lebih produktif antara rakyat Bali dan rakyat Nusa. Hanya saat Ngurah Peminggir diutus oleh Dalem Klungkung mendekati Dalem Nusa ternyata gagal. Kegagalan itu karena Ngurah Peminggir menggunakan kekerasan perang mau menguasai Nusa. Bagaimana hubungan kesejarahan antara Pura Dalem Peed dengan Dalem Dukut?
==============================
SAAT itu Dalem Nusa melepaskan wong samar-nya mengalahkan Ngurah Peminggir dengan pasukannya. Dalem Klungkung melanjutkan upaya penyatuan Pulau Bali dengan Nusa dengan mengutus I Gst. Ngurah Jelantik Bogol. Pendekatan yang digunakan oleh I Gusti Ngurah Jelantik Bogol adalah pendekatan yang etis mengikuti tata krama seorang kesatria sebagai utusan raja. Dalem Dukut pun menerima dengan sangat hormat sesuai dengan tata krama kerajaan dalam menerima utusan raja.
Dalem Dukut atau ada juga sumber yang menyebut Dalem Bungkut bersedia menyerahkan Kerajaan Nusa melalui suatu cara yang terhormat dalam tata krama sebagai kesatria. Dua tokoh ini pun mengadakan perang tanding secara terhormat dengan tidak melibatkan prajurit dan rakyatnya. Mereka melakukan perang tanding secara kesatria tidak berdasarkan kebencian dan kesombongan akan kelebihan diri masing-masing.
I Gst. Jelantik Bogol dalam perang tanding itu menggunakan senjata pemberian kerajaan bernama ”Ganja Malela”. Dalam perang tanding itu senjata Ganja Malela I Gusti Jelantik Bogol patah. Hampir saja I Gst. Jelantik Bogol kalah. Cepat-cepat istrinya, Ni Gusti Ayu Kaler, memberikan senjata bartuah bernama Pencok Sahang. Melihat senjata Pencok Sahang ini Dalem Dukut sudah punya firasat bahwa waktunya sudah tiba untuk kembali ke alam sunia lewat senjata Pencok Sahang.
Peperangan pun dihentikan sementara dan Dalem Dukut menyatakan kepada I Gst. Jelantik Bogol bahwa ia akan kembali ke Sunia Loka lewat senjata Pencok Sahang itu. Dalem Dukut pun menyatakan menyerahkan segala kekayaan Nusa dengan rakyat dan wong samar-nya untuk mendukung Dalem Klungkung memajukan Klungkung.
Senjata Pencok Sahang ini sesungguhnya adalah taring Naga Basuki. Ketika Ni Gst. Ayu Kaler mandi di Sungai Unda ada sepotong kayu bagaikan kayu bakar atau sahang yang selalu menujunya. Setiap kayu itu dijauhkan dari dirinya selalu balik kembali mendekati dirinya. Akhirnya kayu itu dipungut. Setelah dibelah ternyata di dalamnya terdapat sebuah keris yang belum jadi. Keris itulah bernama Pencok Sahang yang tiada lain adalah taring Naga Basuki sendiri.
Yang patut direnungkan latar belakang dari perang tanding Dalem Dukut dengan Jelantik Bogol. Dua orang ini sesungguhnya sudah saling kenal, bahkan bersahabat saat belum menjabat sebagai raja maupun patih. Saat ada panggilan tugas yang berbeda ini mereka kelola dengan bijak sesuai dengan swadharma kesatria. Saat Patih Jelantik Bogol datang ke Nusa membawa tugas Kerajaan Klungkung, Dalem Dukut menyambutnya dengan sangat ramah.
Dalem Dukut menyatakan bahwa jangan karena ada tugas yang berlawanan terus persahabatan menjadi hilang. Demikian juga sebaliknya jangan karena sahabat terus swadharma ditinggalkan sebagai seorang kesatia. Patih Jelantik Bogol membawa pasukan dari Klungkung, tetapi tidak dengan kasar menyerang Kerajaan Nusa. Jelantik Bogol mengatakan pendekatan diplomatik terlebih dahulu dengan cara-cara yang menghormati Dalem Dukut. Raja Nusa ini pun menyambut dengan baik. Dalem Dukut menjamu Patih Jelantik Bogol sebagai seorang teman.
Dalam jamuan tersebut Dalem Dukut menyatakan bahwa Nusa tidak akan kalah kalau Dalem Dukut masih hidup, walaupun semua pasukan Nusa habis. Sebaliknya utusan Dalem Klungkung pun tidak akan kalah kalau Patih Jelantik Bogol tidak gugur di medan perang, meskipun semua pasukan Klungkung gugur dalam pertempuran.
Dalem Dukut dan Patih Jelantik Bogol sepakat untuk tidak memberikan pasukannya masing-masing bertempur. Biarlah mereka bergembira membangun komunikasi persaudaraan demi Bali dan Nusa. Dalem Dukut dan Patih Jelantik Bogol sepakat untuk melakukan perang tanding dalam melakukan swadharma kesatria. Swadharma Patih Jelantik Bogol adalah menyukseskan misi Dalem Klungkung untuk menyatukan Nusa Penida ke dalam kekuasaan Klungkung, sedangkan Dalem Dukut memiliki swadharma untuk menjaga eksistensi kehormatan Kerajaan Nusa Penida.
Dalem Dukut dan Patih Jelantik Bogol perang tanding untuk melakukan swadharmanya masing-masing. Perang tanding itu bukan dilakukan karena kebencian, tetapi atas dorongan melakukan swadharma sebagai kesatria. Dalam melakukan swadharma tersebut mereka tetap juga menjaga persahabatan. Sebelum perang tanding dilangsungkan, Dalem Dukut pun menjamu I Gst. Ngurah Jelantik Bogol sebagai seorang sahabat dengan jamuan kehormatan. Pasukan Klungkung dan Nusa pun ikut berpesta dalam perjamuan tersebut.
Setelah jamuan berlangsung barulah perang tanding dilakukan dengan cara-cara kesatria. Kedua pasukan hanya sebagai saksi perang tanding tersebut. Apalagi rakyat sipil tidak ada yang jadi korban dalam proses penguasaan Nusa oleh Dalem Klungkung. Sifat-sifat kesatria Dalem Dukut dan Patih Jelantik Bogol ini patut menjadi renungan kita bersama dalam membangun Bali dalam proses dinamika kehidupan politik untuk mengutamakan sifat-sifat kesatria yang tidak mengorbankan rakyat kecil untuk mewujudkan tujuan mencapai kekuasaan maupun mencari kekayaan.
Bersatunya Nusa dengan Bali menjadi satu sistem pemerintahan dalam proses yang sangat terhormat pada masa pemerintahan Dalem Klungkung. Tidak ada yang kalah menang dalam artian sempit. Dalem Dukut tidak mengerahkan pasukan wong samar-nya melawan I Gst. Jelantik Bogol. Kemungkinan Dalem Dukut melihat suatu kepentingan yang lebih besar dan lebih mulia yaitu bersatunya alam dan rakyat Nusa dengan Bali. Persatuan ini akan membawa kedua daerah lebih mudah maju membangun kesejahteraan hidup bersama antara rakyat Bali dan Nusa Penida lahir batin. * wiana
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/10/17/bd1.htm

Purusa-Pradana di Pura Dalem Penataran Peed
Ya atmada balada yasya visva
upasate prasisam yasya devah
yasya chaya-amrtam yasya mrtyuh,
kasmani devaya havisa vidhema.
(Rgveda.X.121.2).
Maksudnya:
Tuhan Yang Maha Esa memberikan kekuatan spiritual (rohani) dan fisikal (jasmani). Semua sinar sucinya yang disebut Deva berfungsi atas kehendak Tuhan. Kasih-Nya adalah keabadian, krodanya adalah kematian. Kami semuanya mengaturkan sembah kepada-Nya.
PURA Dalem Penataran Peed di Nusa Penida itu adalah pura untuk memuja Tuhan Yang Mahakuasa sebagai pencipta Purusa dan Pradana. Purusa itu adalah kekuatan jiwa atau daya spiritualitas yang memberikan napas kehidupan pada alam dan segala isinya. Pradana adalah kekuatan fisik material atau daya jasmaniah yang mewujudkan secara nyata kekuatan Purusa tersebut.
Karena itu umat Hindu berbondong-bondong rajin bersembahyang ke Pura Dalem Penataran Peed untuk mendapatkan keseimbangan daya hidup, baik daya spiritual maupun daya fisikal. Karena hanya keseimbangan peran dan fungsi rohani dan jasmani itulah hidup yang harmonis di bumi ini dapat dicapai.
Pemujaan Tuhan sebagai pencipta unsur Purusa dan Pradana ini divisualkan dalam wujud pemujaan di Pura Dalem Penataran Peed. Visualisasi itu merupakan perpaduan konsepsi Hindu dengan kearipan lokal Bali. Di Pura Dalem Penataran Peed ini terdapat dua arca Purusa dan Predana dari uang kepeng yang disimpan di gedong penyimpenan sebagai pelinggih utama di Pura Dalem Penataran Peed. Arca Purusa Predana inilah yang memvisualisasikan kemahakuasaan Tuhan yang menciptakan waranugraha keseimbangan hidup spiritual (Purusa) dengan kehidupan fisik material (Predana).
Dalam Lontar Ratu Nusa diceritakan Batara Siwa menurunkan Dewi Uma dan berstana di Puncak Mundi Nusa Penida diiringi oleh para Bhuta Kala simbol kekuatan fisik material berupa ruang dan waktu. Bhuta itu membentuk ruang dan Kala adalah waktu. Waktu timbul karena ada dinamika ruang. Di Pura Puncak Mundi, Dewi Uma bergelar Dewi Rohini dan berputra Dalem Sahang. Pepatih Dalem Sahang bernama I Renggan dari Jambu Dwipa — kompyang dari Dukuh Jumpungan.
Dukuh Jumpungan itu lahir dari pertemuan Batara Guru dengan Ni Mrenggi, dayang dari Dewi Uma. Kama dari Batara Guru berupa awan kabut yang disebut limun. Karena itu disebut Hyang Kalimunan. Kama Batara Guru ini di-urip oleh Hyang Tri Murti dan menjadi manusia. Setelah digembleng berbagai ilmu kerohanian dan kesidhian, dan oleh Hyang Tri Murti terus diberi nama Dukuh Jumpungan dan bertugas sebagai ahli pengobatan. Setelah turun-temurun Dukuh Jumpungan menurunkan I Gotra yang juga dikenal I Mecaling. Inilah yang selanjutnya disebut Ratu Gede Nusa.
Ratu Gede Nusa ini berpenampilan bagaikan Batara Kala. Menurut penafsiran Ida Pedanda Made Sidemen (alm) dari Geria Taman Sanur yang dimuat dalam buku hasil penelitian Sejarah Pura oleh Tim IHD Denpasar (sekarang Unhi) antara lain menyatakan sbb: saat Batara di Gunung Agung, Batukaru dan Batara di Rambut Siwi dari Jambu Dwipa ke Bali diiringi oleh seribu lima ratus (1.500) orang halus (wong samar).
Lima ratus wong samar itu dengan lima orang taksu menjadi pengiring Ratu Gede Nusa atas wara nugraha Batara di Gunung Agung. Batara di Gunung Agung memberi wara nugraha kepada Ratu Gede Nusa atas tapa brata-nya yang keras. Atas tapa brata itulah Batara di Gunung Agung memberi anugrah dan wewenang untuk mengambil upeti berupa korban manusia Bali yang tidak taat melakukan perbuatan baik dan benar sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
Di Pura Dalem Penataran Peed ini Ida Batara Dalem Penataran Peed dipuja di Pelinggih Gedong, sedangkan Pelinggih Ratu Gede Nusa berada areal tersendiri di barat areal Pelinggih Dalem Penataran Peed. Pelinggih Dalem Penataran Peed ini berada di bagian timur, sedangkan Pelinggih Padmasana sebagai penyawangan Batara di Gunung Agung berada di bagian utara dalam areal Pura Dalem Penataran Peed. Di Pura Dalem Penataran Peed ini merupakan penyatuan antara pemujaan Batara Siwa di Gunung Agung dengan pemujaan Dewi Durgha atau Dewi Uma di Pura Puncak Mundi.
Dengan demikian Pura Dalem Penataran Peed itu sebagai Pemujaan Siwa Durgha dan Pemujaan Raja disebut Pura Dalem. Sedangkan disebut sebagai Pura Penataran Peed karena pura ini sebagai Penataran dari Pura Puncak Mundi pemujaan Batari Uma Durgha. Artinya, Pura Penataran Peed ini sebagai pengejawantahan yang aktif dari fungsi Pura Puncak Mundi pemujaan Batari Uma Durgha.
Di pura inilah bertemunya unsur Purusa dari Batara di Gunung Agung dengan Batari Uma Durgha di Puncak Mundi. Dari pertemuan dua unsur ciptaan Tuhan inilah yang akan melahirkan sarana kehidupan yang tiada habis-habisnya yang disebut Rambut Sedhana. Baik sarana hidup untuk memajukan kesejahteraan maupun sarana untuk mempertahankan kesehatan dan menghilangkan berbagai penyakit.
Upacara pujawali di Pura Dalem Penataran Peed ini dilangsungkan pada setiap Budha Cemeng Klawu. Hari Budha Cemeng Klawu ini adalah hari untuk mengingatkan umat Hindu pada hari keuangan yang disebut Pujawali Batari Rambut Sedhana. Pada hari ini umat Hindu diingatkan agar uang itu digunakan dengan baik dan setepat mungkin. Uang itu sebagai alat untuk mendapatkan berbagai sarana hidup agar digunakan dengan seimbang untuk menciptakan sarana kehidupan yang tiada habis-habisnya. Uang itu sebagai sarana menyukseskan tujuan hidup mewujudkan Dharma, Artha dan Kama sebagai dasar mencapai Moksha.
Berdasarkan adanya Pelinggih Manjangan Saluwang di sebelah barat Tugu Penyimpanan dapat diperkirakan bahwa Pura Dalem Penataran Peed ini sudah ada sejak Mpu Kuturan mendampingi Raja memimpin Bali. Pura ini mendapatkan perhatian saat Dalem Dukut memimpin di Nusa Penida dan dilanjutkan pada zaman kepemimpinan Dalem di Klungkung. * I Ketut Gobyah
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2007/10/17/bd2.htm

Categories:

Leave a Reply